MLM adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level yang biasanya dikenal dengan up line dan down line. Sistem ini akan membentuk jaringan, sama ada vertikal atau horizontal. Level ini mencerminkan hubungan dengan dua level yang berbeza, sistem level ini biasanya mempunyai persyaratan yang berbeza antara MLM masing-masing. Bonus setiap level adalah dengan ditetapkan mengikut syarat-syarat tertentu dalam sesuatu multilevel. Sebelum menjalankan perniagaan. Setiap orang harus menjadi anggota (ahli) terlebih dahulu dan ahli dikehendaki menulis maklumat diri dan membayar wang pendaftaran atau dengan membeli produk perusahaan dengan jumlah tertentu. Setiap pembelian produk ini, maka ahli akan memperolehi point yang sangat penting kerana ia menjadi ukuran untuk perolehan bonus.Pembelian boleh dilakuakn secara langsung (oleh ahli) atau secara tidak langsung (oleh downline) yang mana ia juga dikenali sebagai jaringan bonus.
A) Apabila seseorang menjadi ahli MLM dia melakukan dua perkara:
1) Membeli produk/menjadi ahli (akad syirkah untuk barang dan akad ijarah untuk jasa)
2) Menjadi syamsarah/perantara/wakil perusahaan tersebut.
Di sini kita huraikan dulu perbezaan antara urusan jual beli dan syamsarah.
- Jual beli adalah transaksi antara penjual yang punya barang dan pembeli yang berkehendakkan barang tersebut.
- Sedangkan syamsarah adalah seseorang yang menjadi perantara antara penjual dan pembeli. (Atas jasanya itu maka dia akan memperolehi bonus.)
Dengan demikian, apabila seseorang menjadi anggota MLM maka terjadi dua akad dalam satu transaksi, iaitu akad jual beli saat dia membeli produk dan akad sebagai perantara/wakil di saat dia memperoleh hak perniagaan. Satu transaksi dengan dua akad ini, jika dalam bentuk jasa disebut Shafqatayn fi shafqah, dan jika dalam bentuk barang disebut bay’atan fi bay’ah.
Dalam sebuah transaksi syari’at Islam mewajibkan adanya AKAD, yakni ijab dan qabul antara kedua pihak. Maksudnya, apabila saya menjual (misalnya) sebuah hp kepada anda maka saya katakan: ‘Saya jual hp saya ini dengan harga RM 400 kepada anda’, dan ini disebut ijab (penawaran). Kemudian anda mengatakan: ‘Saya beli hp anda dengan harga RM 400’, dan ini disebut Qabul (penerimaan). Begitu juga lafadz (ucapan) saat pernikahan, Ijab dari wali (bapa) wanita dan Qabul dari lelaki yang hendak mengahwini wanita tersebut.
Disamping itu, Islam telah menetapkan bahwa akad harus dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara; zat (barang atau benda) atau jasa (manfaat). Misalnya, akad syirkah dan jual beli adalah akad yang dilakukan terhadap zat (barang atau benda), sedangkan akad ijârah adalah akad yang dilakukan terhadap jasa (manfaat). Selain terhadap dua hal ini, maka akad tersebut statusnya batil.
Mengenai shafqatayn fi shafqah, atau bay'atayn fi bay'ah, telah banyak dinyatakan dalam hadits Rasulululah antara lain sebagai berikut:
“Nabi saw telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian”. [1][1]
Hadith ini diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa'i dan at-Tirmidzi dari Abû Hurayrah ra.
Dalam hal ini, as-Syâfi'i memberikan keterangan (syarh) terhadap maksud bay'atayn fi bay'ah (dua pembelian dalam satu pembelian), dengan menyatakan:
Jika seseorang mengatakan: Saya jual budak ini kepada anda dengan harga 1000, dengan catatan anda menjual rumah anda kepada saya dengan harga segini. Artinya, jika anda menetapkan milik anda menjadi milik saya, saya pun akan menetapkan milik saya menjadi anda.[2][2]
Dalam konteks ini, maksud bay'atayn fi bay'ah adalah melakukan dua akad dalam satu transaksi; akad yang pertama adalah akad jual-beli budak, sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Namun, masing-masing dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain, sehingga terjadilah dua transaksi tersebut termasuk dalam satu akad.
Hadits al-Bazzâr dan Ahmad, dari Ibn Mas'ûd yang menyatakan:
Rasulullah saw. telah melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan (akad).[3][3]
Hadits yang senada dikemukakan oleh at-Thabrâni dalam kitabnya, al-Awsath, dengan redaksi sebagai berikut:
Dalam konteks hadits diatas, yang terjadi adalah bay’atan fi bay’ah yakni satu transaksi dengan dua jual beli (barang).
Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (HR Thabrani).
Dalam konteks hadits diatas, yang terjadi adalah Shafqatayn fi shafqah yakni satu transaksi dengan dua kesepakatan (jasa).
Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan (akad).[4][4]
Maksud hadits ini sama dengan hadits yang telah dinyatakan dalam point di atas. Dalam hal ini, Rasulullah saw. dengan tegas melarang praktik dua akad (kesepakatan) dalam satu akad (kesepakatan).
B) Selain itu terdapat juga hukum syamsarah ala syamsarah/ wakil atas wakil (perantara atas perantara)
Apabila seseorang menjadi ahli MLM, maka ia akan berusaha mencari down line baru dengan menawarkan produk perusahaan (di sini ia akan menjadi waklil kepada perusahaan itu. Kemudian down line yang telah menjadi anggota MLM ini akan mencari down line berikutnya dengan menawarkan produk perusahaan (ia-pun menjadi makelar lagi/simsar).
Dalam hal ini akan terjadi mewakili wakil (wakil atas wakil/ perantara atas perantara/syamsarah ala syamsarah)
Adapun pada asalnya wakil ini secara umumnya dibolehkan berdasarkan hadits dari Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani ini menjelaskan
Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural simsar/wakil), kemudian Rasulullah saw keluar menghampiri kami dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: Wahai para Tujjar (plural dari tajir, pedagang), sesungguhnya jual beli itu selalu dihinggapi kelalaian dan sesumpah maka bersihkanlah dengan sedekah. [5][5]
Maksudnya begini, jika saya akan menjual rumah saya dengan harga RM 100 ribu maka saya minta bantuan seorang wakil (simsar), saya katakan: ‘Tolong jualkan rumah saya (carikan pembelinya) dengan harga RM 100 ribu dan jika terjual saya beri anda komisyen (upah) 2.5% dari nilai transaksi’. Jika perantara menemukan pembeli dengan saya dan transaksi berlangsung, maka saya bayarkan komisi kepada wakil itu itu RM 2500, Ini dibenarkan oleh syari’at Islam.
Hadits tersebut diuraikan (syarh) oleh as-Sarakhsi dalam kitabnya Al-Mabsuth li as-Sarakhsi,
“Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain dengan kompensasi ((upah/bonus/komisi), baik untuk menjual ataupun membeli.”[6][6]
Dengan batasan ini maka yang dibolehkan (mubah) oleh syari’at adalah wakil pada level pertama saja, dan diharamkan untuk level berikutnya karena akan terjadi Syamsarah ‘ala syamsarah.
Dari batasan-batasan tentang perwakilan di atas, dapat disimpulkan, bahawa perwakilan itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (mâlik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama wakil yang lain. Karena itu, mewakili wakil atau samsarah 'ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan wakil adalah sebagai orang tengah (mutawassith), atau orang yang mempertemukan (mushlih) dua kepentingan yang berbeza; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi wakil orang tengah (mutawassith al-mutawassith), maka statusnya tidak lagi sebagai penengah.
Hal ini yang terjadi dalam bisnes MLM, seseorang up line (wakil yang entah ke berapa) kemudian mencari wakil lain (down line) untuk menawarkan produk perusahaan. Disini terjadi syamsarah ala syamsarah.
Kesimpulan:
1.Bisnes MLM ini dihukumi halal tidahk hanya berdasarkan produk yang dijual adalah barangan yang halal dan harus diamati adakah system MLM yang dijalankan melanggar hukuk syara’ atau tidak. Memang kita diwajibkan dalam berdagang hanya menjual barang yang dihalalkan oleh syara’, diharamkan menjual khamr, anjing, babi, salib, dan lain-lain. Tetapi sistem perdagangannya juga tidak boleh melanggar hukum syara’, seperti berbohong, penipuan dalam timbangan menjual barangan yang rosak mahupun satu transaksi dengan dua akad, dan lain-lain. Maksudnya dua hal harus dipenuhi: jenis barang dan sistem perdagangan.
2. Transaksi MLM yang umum berlangsung telah melanggar dua hukum syara.’
A) Melakukan satu transaksi dalam dua akad, shafqatayn fi shafqah untuk jasa atau bay’atan fi bay’ah untuk barang. Pada saat yang sama seorang anggota MLM menjadi pembeli dan sekaligus wakil bagi perusahaan.
B) Terjadi aktiviti wakil atas wakil/perantara atas perantara (syamsarah ‘ala syamsarah), seorang up line (perantara) menawarkan produk kepada down line (perantara berikutnya). Padahal produk yang ditawarkan up line tersebut bukan miliknya, ia hanya berfungsi sebagai wakil dan tidak berhak mencari wakilnya yang lainnya (down line).
3. Jika kita melakukan aktiviti yang diharamkan oleh syariat Islam, maka wang hasil usaha tersebut tentu haram juga. Dan setiap wang haram akan dipertanggung-jawabkan nanti di Yaumil akhir nanti. Adakah hujjah kita kepada Allah swt atas wang haram itu?. Lebih baik kita memperoleh penghasilan yang halal meskipun sedikit, daripada banyak tetapi haram.
Wallahua'lam.
Rujukan:
[1][1] Lihat, as-Syawkâni, Nayl al-Awthâr, Dâr al-Jîl, Beirut, 1973, juz V, hal. 248.
[2][2] Lihat, as-Syawkâni, Nayl al-Awthâr, juz V, hal. 249; pandangan yang sama juga dikemukakan oleh as-Syaikh Taqiyuddîn an-Nabhâni. Lihat, an-Nabhâni, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, 1992, juz II, hal. 318.
[3][3] Lihat, al-Haytsami, Majma' az-Zawâ'id wa Manba' al-Fawâ'id, Dâr al-Kitab al-'Arabi, Beirut, 1973, juz IV, hal. 84.
[4][4] Lihat, al-Haytsami, Majma' az-Zawâ'id wa Manba' al-Fawâ'id, juz IV, hal. 84.
[5][5] as-Sarakhsî, al-Mabsûth li as-Sarakhsî, juz XV, hal. 115.
[6][6] as-Sarakhsî, al-Mabsûth li as-Sarakhsî, juz XV, hal. 116.