Wednesday, August 8, 2012

Benarkah Syaikh Taqiyuddin An Nabhani pernah Bergabung dengan Ikhwanul Muslimin?


Syaikh Dr. Abdul Aziz Al Khayyath, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin (IM) di era 1940-an (yang kemudian bergabung bersama Hizbut Tahrir) menyatakan bahwa setelah kembali dari Al Azhar, Syaikh Taqiyuddin aktif melakukan dialog atau kontak (ittishal) dengan masyarakat. Dialog-dialog tersebut dilakukan dengan sejumlah to
koh-tokoh dan pemuda di wilayah Palestina seperti Dr. Nimr Al Mishri dan Ustadz Dawud Hamdan dan Syaikh Dr. Abdul Aziz Al Khayyath sendiri. Di samping itu, beliau juga giat melakukan kunjungan ke berbagai negeri-negeri Arab untuk menghubungi para tokoh-tokoh dan ulama-ulama Islam untuk menyampaikan gagasannya untuk membangkitkan kembali ummat Islam. Proses tersebut dilakukan sebelum ia menjadi anggota di Mahkamah Isti’naf (Pengadilan Tinggi) Palestina sekitar tahun 1946.

Syaikh Taqiyuddin An Nabhani sendiri (baik sebelum dan setelah mendirikan Hizbut Tahrir) cukup aktif melakukan dialog dengan sejumlah tokoh Ikhwanul Muslimin. Dr. Abdul Aziz Al Khayyath menyatakan bahwa tema pembicaran beliau dengan Taqiyuddin An Nabhani berkisar pada upaya untuk mewujudkan cara-cara baru untuk menerapkan dan mengembalikan Islam ke tampuk pemerintahan.

Setelah mendapat pencerahan pemikiran dari Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, Dr. Abdul Aziz Al Khayyath (yang pada waktu itu menjadi penanggung jawab tawanan Ikhwanul Muslimin di wilayah Palestina, Suriah, Lebanon dan Yordan tersebut), kemudian menerbitkan majalah yang bernama Al Waie Al Jadid bersama dua orang tokoh Ikhwanul Muslimin, yaitu Abdul Razaq Khalifah dan dan Sayyid Kurkur.

Dr. Abdul Aziz Al Khayyath sendiri kemudian semakin intens melakukan dialog dengan Taqiyuddin An Nabhani, termasuk mengenai upaya untuk melakukan reformasi gerakan, uslub, tujuan, dan pandangan gerakan Ikhwanul Muslimin. Dengan hal tersebut, Dr. Abdul Aziz Al Khayyath berharap tidak perlu lagi membentuk partai politik baru untuk kembali menerapkan Islam ke tampuk pemerintahan sehingga upaya orang-orang yang berjuang untuk kembali menerapkan Islam tidak berserakan. Menurut Dr. Abdul Aziz Al Khayyath, usaha tersebut nyaris berhasil jika saja ia tidak dihalangi oleh Syaikh Dr. Said Ramadhan Al Buthi yang merupakan tokoh panutan IM pada masa itu. Setelah upaya untuk membenahi Ikhwanul Muslimin, termasuk menyuguhkan pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan baru telah mengalami kebuntuan, Dr. Abdul Aziz Al Khayyath kemudian bersama-sama Syaikh Taqiyuddin An Nabhani mendirikan Hizbut Tahrir (HT).

Beliau juga menegaskan bahwa Syaikh Taqiyuddin tidak pernah menjadi bagian dari Ikhwanul Muslimin. Ustadz Auni Judu’ (penulis kitab Hizbut Tahrir Al Islamy) juga menampik hal tersebut. Alasannya, Taqiyuddin An Nabhani merupakan sosok yang alim yang memiliki sejumlah tulisan-tulisan yang berserakan di berbagai media pada tahun 1940-an. Seandainya ia pernah menjadi bagian dari Ikhwanul Muslimin, tentu sedikit banyak akan ditemukan gambaran pemikiran-pemikiran beliau yang bersinggunan dengan Ikhwanul Muslimin. Tetapi sejumlah terbitan Ikhwanul Muslimin pada masa itu ternyata tidak ada yang dapat membuktikan hal tersebut.

Syaikh Taqiyuddin beserta orang-orang yang bergabung dengan HT kemudian semakin intens melakukan dialog-dialog dan interaksi pemikiran dengan berbagai tokoh gerakan, ulama, dan masyarakat secara umum termasuk dari kalangan aktivis Ikhwanul Muslimin. Tidak heran, jika sebagian anggota Ikhwanul Muslimin termasuk sejumlah tokohnya kemudian bergabung dengan Hizbut Tahrir seperti Dr. Nimr Al Mishri, Syaikh Ahmad Ad Daur, dan Ustadz Ghanim Ismail Abduh. Meski demikian, Dr. Abdul Aziz Al Khayyath menegaskan bahwa tidak benar jika seluruh atau sebagian besar anggota awal Hizbut Tahrir berasal dari Ikhwanul Muslimin.

Pada masa itu, menurut Dr. Abdul Aziz Al Khayyath, hubungan antara Hizbut Tahrir dengan Ikhwanul Muslimin sempat mengalami kebekuan akibat adanya diskriminasi sebagian anggota Ikhwanul Muslimin kepada anggota HT yang sebelumnya berasal dari Ikhwanul Muslimin, seperti yang dialami oleh Almarhum Abu Hisyam yang mengalami intimidasi sebanyak dua kali. Syaikh Taqiyuddin dan Dr. Abdul Aziz Al Khayyath sendiri banyak mendapatkan tuduhan-tuduhan yang tidak benar. Salah satunya adalah tuduhan bahwa Syaikh Taqiyuddin menerima sumbangan dana dari salah seorang diplomat AS senilai 80.000 dollar. Masya Allah!

Meski demikian, Syaikh Taqiyuddin sendiri masih sering diundang oleh para anggota Ikhwanul Muslimin untuk menyampaikan pemikiran-pemikirannya yang selanjutnya menarik minat sebagian mereka untuk bergabung ke Hizbut Tahrir. Bahkan pada masa Imam Asy Syahid Hasan Al Banna sekalipun, Taqiyuddin An Nabhani banyak menghadiri daurah-daurah yang diadakan oleh Ikhwanul Muslimin untuk menyampaikan gagasan-gagasannya.

Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, sebelum mendirikan Hizbut Tahrir, sempat bertemu secara langsung dengan Asy Syahid Hasan Al Banna di akhir tahun 1940-an di Kairo. Upaya dialog untuk mencari persamaan dengan Ikhwanul Muslimin sebenarnya telah dilakukan oleh beliau sebelum mendirikan Hizbut Tahrir. Meski hal tersebut mendapatkan penolakan dari beberapa pihak dari Ikhwanul Muslimin. Bahkan Syaikh Dr. Said Ramadhan Al Buthi, sebagaimana yang dituturkan oleh Dr. Abdul Aziz Al Khayyath, melakukan sejumlah distorsi terhadap gambaran aktivitas Islam yang dilakukan oleh Taqiyuddin An Nabhani termasuk berbagai perjalanan yang dilakukan oleh Taqiyuddin An Nabhani dan rekan-rekannya ke sejumlah negara Arab, khususnya di Yordania untuk menyebarkan gagasan-gagasannya. Bahkan Dr. Said Ramadhan Al Buthi membekukan majalah Al Waie Al Jadid yang dikeluarkan oleh Dr. Abdul Aziz Al Khayyath bersama rekan-rekannya dari Ikhwanul Muslimin.

Sikap Taqiyuddin An Nabhani terhadap Asy Syahid Hasan Al Banna
Dalam sebuah wawancara dengan Syaikh Ahmad Ad Daur (salah seorang tokoh senior Hizbut Tahrir), ia mengatakan bahwa sama sekali tidak ada hubungan organisasi antara Taqiyuddin An Nabhani dengan Ikhwanul Muslimin, meskipun beliau pernah bertemu dengan Hasan Al Banna, yang pada masa itu menjadi Mursyid Aam (pimpinan tertinggi) Ikhwanul Muslimin. Tentang Hasan Al Banna, Taqiyuddin An Nabhani pernah berkata, “Syaikh Al Banna merupakan orang yang alim, cerdas, sungguh-sungguh dan seorang mujtahid.”

Salah seorang sumber sebagaimana yang dikutip oleh Ustadz Auni Judu’ mengatakan bahwa sepanjang interaksinya dengan An Nabhani di Lebanon, ia tidak pernah mendengarkan beliau mencela organisasi-organisasi kaum muslimin. Bahkan terhadap Ikhwanul Muslimin sendiri Syaikh Taqiyuddin pernah berkomentar, “Ikhwanul Muslimin merupakan jamaah Islam yang teguh dan tidak ada yang kurang padanya kecuali kajian tentang politik Islam.”

Sikap Hizbut Tahrir sendiri terhadap gerakan-gerakan Islam lainnya setidaknya tercermin dari pernyataan Amin Nayaf, salah seorang tokoh Hizbut Tahrir (ketika beliau memberikan jawaban atas tuduhan terhadap beliau yang telah menyebarkan pemikiran Mu’tazilah). Amin Nayaf berkata, “Janganlah kalian mencoba untuk mencari permusuhan atau mengarah pada permusuhan terhadap gerakan-gerakan Islam lainnya. Kita harus waspada terhadap pihak-pihak yang mencoba untuk memecah-belah gerakan-gerakan Islam. Kepada merekalah seharusnya serangan itu dilancarkan.”

Demikian pula harus ada dialog-dialog yang intensif dengan aktivis gerakan-gerakan Islam untuk melakukan diskusi dengan cara yang penuh hikmah, nasihat yang baik (mauidzah hasanah), dan debat yang baik dimana nash-nash syara dan hukum-hukum syara’ dijadikan sebagai dasar seluruh tindakan dan ucapan. Di samping itu harus dijauhi sikap-sikap pelecehan, penghinaan, serangan atau pembodohan (terhadap gerakan-gerakan Islam lainnya). Kami (aktivis Hizbut Tahrir) hanya berdiskusi dengan menggunakan dalil untuk mencapai kebenaran dan hukum yang shahih tanpa ada rasa permusuhan sedikit pun.

(Referensi tulisan ini didasarkan pada sebuah buku yang ditulis seorang peneliti Ustadz ‘Auni Judu’ Al ‘Abidy dengan judul: Hizbut Tahrir Al Islamy (1992)

Setelah tulisan ini diterbitkan, kita berharap agar sentimen kelompok bisa terlempar jauh dari diri kita. Sesungguhnya Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin itu bersaudara. Saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran

No comments:

Post a Comment