Oleh KH Hafidz Abdurrahman Ketua Lajnah Tsaqafiyyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia
Tuduhan Palsu
Banyak tuduhan palsu, bahkan kebohongan dialamatkan kepada Hizbut Tahrir dan gagasan yang diusungnya. Berikut ini, antara lain, tuduhan palsu
Tuduhan 1: “Yang diwajibkan bukan Khilafah tapi Imamah, yang artinya secara umum adalah kepemimpinan. Jadi tidak harus bernama Khilafah. Buktinya Rasulullah saw tidak ber-istikhlaf (tidak memerintahkan khilafah) sepeninggal beliau.” Ini didasarkan pada pernyataan ‘Umar:
فَقَالَ: إنَّ اللّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَحْفَظُ دِينَهُ. وَإنِّي لَئِنْ لاَ أَسْتَخْلِفْ فَإنَّ رَسُولَ اللّهِ لَمْ يَسْتَخْلِفْ. وَإِنْ أَسْتَخْلِفْ فَإنَّ أَبَا بَكْرٍ قَدِ اسْتَخْلَفَ. قَالَ: فَوَاللّهِ مَا هُوَ إلاَّ أَنْ ذَكَرَ رَسُولَ اللّهِ وَأَبَا بَكْرٍ. فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِيَعْدِلَ بِرَسُولِ اللّهِ أَحَداً. وَأَنَّهُ غَيْرُ مُسْتَخْلِفٍ.
“Berkata (‘Umar): ‘Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menjaga agama-Nya. Sekiranya aku tidak mengangkat putra mahkota, sesungguhnya karena Rasulullah saw tidak mengangkatnya. Dan, sekiranya aku mengangkatnya, maka itu karena Abu Bakar telah mengangkatnya.’ Berkata (Ibn ‘Umar): ‘Demi Allah, apa yang dilakukan beliau (‘Umar) tak lain, karena beliau mengingat Rasulullah dan Abu Bakar. Saya tahu, bahwa tidak akan pernah ada siapapun yang bisa menggantikan Rasulullah. Dan, baginda saw. tidak mengangkat putra mahkota.’” (Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, 884)
Bantahan:
1- Yang menyatakan seperti ini salah dalam memahami makna lafadz, istikhlaf yang disampaikan oleh Khalifah ‘Umar maupun ‘Abdullah bin ‘Umar. Lafadz tersebut diartikan, “pengangkatan Khilafah/Khalifah”, padahal maksudnya tidak begitu. Istikhlaf di sini adalah pengangkatan putra mahkota, bukan pengangkatan Khalifah/Khilafah. Ini diperkuat oleh riwayat yang dinukil oleh Imam as-Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh Khulafa’ (156), ketika Marwan diutus Mu’awiyah ke Madinah untuk mengambil bai’at dari penduduk Madinah kepada Yazid bin Mu’awiyah. Marwan berkata, “Amirul Mukminin (Mu’awiyah) memandang perlu mengangkat anaknya sebagai putra mahkota untuk (memimpin) kalian karena mengikuti tuntunan Abu Bakar dan ‘Umar.” ‘Abdurrahman bin Abu Bakar berdiri, “Tidak, tetapi itu tuntunan Kisra dan Kaesar. Sebab, Abu Bakar dan ‘Umar tidak menjadikan Khilafah untuk anak-anak mereka, juga tidak untuk salah seorang anggota keluarganya.”
Jika lafadz istikhlaf di atas dipahami seperti itu, maka akan terjadi kontradiksi antara tindakan Nabi “tidak mengangkat Khalifah” dengan Abu Bakar yang “mengangkat Khalifah”. Tetapi, jika dipahami sebagaimana riwayat as-Suyuthi, maka perbedaan antara Nabi dan Abu Bakar hanya terletak pada cara. Nabi tidak menunjuk putra mahkota, sedangkan Abu Bakar menunjuk, setelah mengambil pendapat penduduk Madinah yang suaranya mengerucut pada ‘Umar.
2- Menurut al-Khatthabi, dalam kitabnya, Tharh at-Tatsrib fi Syarh at-Taqrib, (VIII/75), pernyataa ‘Umar dan ‘Abdullah bin ‘Umar di atas, tidak bisa diartikan, bahwa mengangkat Khalifah tidak wajib:
قوله: (وإني إن لا أستخلف فإن رسول الله [صلم] لم يستخلف) قال الخطابي: معناه لم يسم رجلا بعينه للخلافة، ولم يرد به أنه لم يأمر بذلك، ولم يرشد إليه، وأهمل الأمر بلا راع يرعاهم وقد قال عليه الصلاة والسلام: الأئمة من قريش، فكان معناه الأمر بعقد البيعة لإمام من قريش، ولذلك رأيت الصحابة يوم مات رسول الله [صلم] لم يقضوا شيئا من أمر دفنه وتجهيزه حتى أحكموا أمر البيعة ونصبوا أبا بكر وكانوا يسمونه خليفة رسول الله [صلم]، إذ كان فعلهم صادرا عنه ومضافا إليه وذلك من أدل الدليل على وجوب الخلافة.
“Pernyataan ‘Umar, ‘Sesungguhnya aku, jika aku tidak mengangkat putra mahkota, itu karena Rasulullah saw. juga tidak mengangkat putra mahkota.’ Al-Khatthabi berkomentar, ‘Maknanya, seseorang tidak disebut dengan sendirinya jabatan Khilafah, dan tidak berarti yang beliau maksud adalah tidak memerintahkan, dan tidak menganjurkannya, serta membiarkan urusan tersebut tanpa pengatur yang mengurusnya, sementara Rasulullah saw telah bersabda, ‘Para imam itu berasal dari Quraisy.’ Maknanya adalah perintah untuk membaiat seorang imam dari Quraisy. Karena itu, Anda melihat para sahabat ketika hari wafatnya Rasulullah saw, mereka tidak menunaikan pemakaman baginda dan menyiapkannya hingga mereka memastikan urusan baiat ini, dan berhasil mengangkat Abu Bakar, dan mereka menyebutnya sebagai Khalifah Rasulullah saw, karena tindakan mereka bersumber dari dan disandarkan kepada baginda. Itu merupakan dalil yang paling jelas dan tegas tentang wajibnya mendirikan Khilafah.”
3- Sedangkan Imamah, Khilafah dan Imaratu al-Mu’minin, menurut Imam an-Nawawi, dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab (XXI/26):
وَالإِمَامَةُ وَالْخِلاَفَةُ وَإِمَارَةُ الْمُؤْمِنِيْنَ مُتَرَادِفَةٌ، وَالْمُرَادُ بِهَا الرِّياَسَةُ الْعَامَّةُ فِي شُؤُوْنِ الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا
“Imamah, Khilafah dan Imaratu al-Mukminin adalah sinonim. Yang dimaksud dengannya adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia.”
Tuduhan 2: Bukankah sudah diberitakan oleh Rasulullah saw bahwa kekhilafahan umat Islam hanya berlangsung 30 tahun, setelah itu tidak ada lagi Khilafah dan pemimpin umat Islam menjadi berjumlah banyak, jadi memperjuangkannya adalah kesia-siaan.
Tuduhan ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw dalam Musnad Ahmad bin Hambal, haditz nomor 22273, bahwa masa kekhilafahan umat Islam hanya 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan.
Bantahan:
1- Pernyataan bahwa setelah 30 tahun tidak ada Khilafah jelas keliru. Meski ini disandarkan kepada redaksi hadits, tetapi hadits ini bukan satu-satunya. Ada hadits lain yang menyatakan, bahwa Khilafah berjumlah 12 orang. Termasuk hadits yang menyatakan secara umum, tanpa batas waktu dan jumlah orangnya, “Wa satakunu khulafa’ fa yaktsuruna (Akan ada para Khalifah, hingga jumlah mereka banyak).” (Hr. Muslim). Juga hadits yang mewajibkan umat ini harus mempunyai Khalifah, dan haram hukumnya mati sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at, “Man mata wa laisa fi ‘unuqihi bai’ah mata mitatan jahiliyyah (Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah).” (Hr. Ibn Hibban)
Karena itu, as-Suyuthi, sengaja mengemukakan hadits 30 Khilafah dan 12 imam ini sebelum mengawali pembahasan para Khalifah, satu per satu, dengan menukil penjelasan al-Qadhi ‘Iyadh:
لعل المراد بالاثني عشر في هذه الأحاديث وما شابهها أنهم يكونون في مدة عزة الخلافة وقوة الإسلام واستقامة أموره والاجتماع على من يقوم بالخلافة وقد وجد هذا فيمن اجتمع عليه الناس إلا أن اضطرب أمر بني أمية ووقعت بينهم الفتنة زمن الوليد بن يزيد فاتصلت بينهم إلى أن قامت الدولة العباسية فاستأصلوا أمرهم.
“Barangkali maksud dua belas imam (Khalifah) di dalam hadits-hadits itu dan yang sejenis adalah, bahwa mereka itu berada dalam puncak kejayaan Khilafah, dan puncak kejayaan Islam, serta mulus dan lurusnya perjalanan Islam, serta kesepakatan orang-orang di masa itu atas kepemimpinan Khalifah tersebut. Sebab, memang ada masa dimana manusia sepakat atas kepemimpinan mereka, hingga datanglah satu masa di mana kekuasaan Bani Umayyah mulai goyah, yakni di masa al-Walid bin Yazid hingga terjadilah kegoncangan sampai akhirnya berdirilah Daulah ‘Abbasiyyah, dan mereka mengikis semua kekuasaan Bani Umayyah.” (as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, 8)
As-Suyuthi juga menukil pendapat Ibn Hajar al-Asqalani, menurutnya:
كلام القاضي عياض أحسن ما قيل في الحديث وأرجحه
“Penjelasan al-Qadhi ‘Iyadh ini merupakan penjelasan terbaik tentang hadits tersebut, dan saya menguatkannya..” (as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, 9).
Dengan demikian, maka semua hadits dalam masalah ini, baik yang membatasi dengan waktu (30 tahun), atau dengan jumlah imam (12 Khalifah/imam), maupun yang mutlak bisa dipertemukan. Tanpa menafikan satu pun dalil yang menyatakan tentang masalah Khilafah ini. Inilah pendapat yang paling tepat, sesuai dengan prinsip dalam ushul, “I’mal ad-dalilain aula min ihmali ahadihima (Menggunakan dua dalil [yang tampak kontradiksi] lebih baik, ketimbang mengabaikan salah satunya)”
Dengan reasoning seperti itulah, maka as-Suyuthi kemudian menyusun kitabnya, Tarikh al-Khulafa’, dengan menyatakan:
فلهذه الأمور لم أذكر أحداً من العبيديين ولا غيرهم من الخوارج وإنما ذكرت الخليفة المتفق على صحة إمامته وعقد بيعته
“Karena itulah, saya tidak menyebut seorang pun dari para emir ‘Ubaidiyah dan kelompok Khawarij yang lain, tetapi saya hanya menyebutkan Khalifah yang disepakati keabsahan imamah dan akad bai’atnya.” (Lihat, as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, 5)
2- Fakta saat ini, bahwa para penguasa kaum Muslim jumlahnya banyak, memang benar. Tetapi, masalahnya, apakah fakta ini dibenarkan oleh Islam? Dan, apakah memperjuangkan Khilafah untuk menyatukannya sia-sia? Jelas tidak. Dengan tegas Imam an-Nawawi, dalam kitabnya, Syarah Shahih Muslim (Juz XII/321), menyatakan:
واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد سواء اتسعت دار الإسلام أم لا. وقال إمام الحرمين في كتابه الإرشاد: قال أصحابنا لا يجوز عقدها شخصين،
“Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah dalam satu masa, baik wilayah Negara Islam luas maupun tidak. Imam al-Haramain berkata, dalam kitabnya, al-Irsyad, para ashhab kami (Ahlusunnah-Syafii) menyatakan, ‘Tidak boleh memberikan jabatan Khilafah kepada dua orang.”
Memang ada pendapat yang menyatakan kebolehan adanya lebih dari satu imam (Khalifah). Pendapat ini dinyatakan oleh kelompok Karamiyyah, sebagaimana dinukil oleh Imam as-Sinqithi (Ulama Sunni). Lihat, Adhwâ’ al-Bayân fî Îdhâh al-Qur’ân bi al-Qur’ân, Juz I/83
قول الكرامية بجواز ذلك مطلقًا محتجين بأن عليًّا ومعاوية كانا إمامين واجبي الطاعة كلاهما على من معه، وبأن ذلك يؤدي إلى كون كل واحد منهما أقوم بما لديه وأضبط لما يليه.
“Pendapat Karamiyyah tentang secara mutlak diperbolehkannya (adanya dua Khalifah) dengan argumen, bahwa ‘Ali dan Mu’awiyah dua-duanya pernah menjadi imam (Khalifah) yang sama-sama wajib ditaati, masing-masing oleh pengikutnya. Juga karena itu menyebabkan masing-masing lebih lurus dalam menjalankan kekuasaannya, serta lebih kuat bagi generasi berikutnya.”
Kelompok ini dinisbatkan kepada Muhammad bin Karam as-Sajsatani (w. 255 H). Tetapi, ini bukan kelompok Ahlusunnah, melainkan Mujassimah. Muhammad bin Karam as-Sajsatani, disebut oleh Ibn Hajar, “Saqith al-hadits ‘ala bid’atihi (Hadits gugur, karena bid’ahnya).” (Lihat, Ibn Hajar, Lisan al-Mizan, Juz V/400)
Tuduhan 3: Asumsi bahwa Khilafah ‘Ala Minhaj An-Nubuwwah ke-2 belum datang adalah salah, karena menurut para ‘ulama yang dimaksud dalam hadits Ahmad adalah masa ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz ra.
Al-Hafidh al-Baihaqi menukil penjelasan:
قال: فقدم عمر – يعني: ابن عبد العزيز – ومعه يزيد بن النعمان فكتبت إليه أذكره الحديث وكتبت إليه إني أرجو أن يكون أمير المؤمنين بعد الجبرية، قال: فأخذ يزيد الكتاب فأدخله على عمر فسر به وأعجبه» .
“Berkata (perawi hadits): ‘Umar –maksudnya ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz— bersama Yazid bin an-Nu’man berdiri, lalu aku (perawi hadits) menuliskan surat kepadany untuk mengingatkannya akan hadits tersebut. Aku tuliskan, isinya, “Saya berharap, dia adalah Amirul Mukminin (‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz) setelah era Jabariyyah.” Berkata (perawi hadits), ‘Maka Yazid pun mengambil surat tersebut, dan memasukkannya ke saku ‘Umar. Beliau pun senang dengannya, dan terkejut.” (Lihat, al-Baihaqi, Dalail an-Nubuwwah, Juz VI/491)
Pendapat al-Hafidh al-Baihaqi ini juga dikutip oleh kakek al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, al-‘Allamah Syaikh Yusuf an-Nabhani, dalam kitabnya Hujjatu-Llah ‘ala al-‘Alamin fi Mu’jizat Sayyidi al-Mursalin, hal. 527.
Bantahan:
1- Bahwa Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah yang disebut dalam hadits Ahmad adalah masa Khalifah Umar bin Abdil ‘Aziz ra. merupakan asumsi seorang perawi bernama Habib bin Salim rahimahullaah. Karena itu, ini jelas bukan hadits Rasulullah saw. Dalam penjelasannya, Habib bin Salim rahimahullaah sendiri tidak bisa memastikan, bahwa yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Karena itu, beliau menyatakan, “Arju an yakuna Amiru al-Mu’minin (Saya berharap dia adalah Amirul Mukminin).” Kalaupun ada yang berpendapat demikian tentunya tidak berupa keyakinan yang kemudian menafikan kemungkinan yang lainnya, karena landasannya sebatas “harapan” seorang perawi.
2- Menurut hadits Muslim nomor 2913: Akan ada kembali kekhilafahan: (a) Hadits menyebutkan munculnya khalifah di akhir umat Nabi Muhammad saw.:
«يَكُونُ فِي آخِرِ أُمَّتِي خَلِيفَةٌ يَحْثِي الْمَالَ حَثْياً، لاَ يَعُدُّهُ عَدَداً».
“Di era akhir umatku kelak akan ada seorang Khalifah yang mengumpulkan harta begitu melimpah, yang tidak terkira jumlahnya.”
(b) Keterangan dua orang perawinya, Abu Nadhrah dan Abu Al-’Ala’ saat ditanya oleh Al-Jurairi:
قَالَ قُلْتُ لأَبِي نَضْرَةَ وَأَبِي الْعَلاَءِ: أَتَرَيَانِ أَنَّهُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ؟ فَقَالاَ: لاَ.
Berkata (perawi), ‘Aku tanyakan kepada Abu Nadhrah dan Abu al-‘Ala’, “Apakah Anda berdua berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz?” Keduanya menjawab, “Tidak.”
Jelas yang dimaksud oleh hadits Muslim ini bukanlah Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz. Maka, pendapat yang mengatakan bahwa tidak akan ada lagi Khalifah, berarti mengingkari hadits shahih ini.
3- Masih dari sumber yang sama, yaitu hadits nomor 2914: “Akan muncul kembali Khalifah di akhir zaman”. Tentu bukan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, karena beliau hidup dekat dengan masa kenabian dan bukan di akhir zaman. Maka, mengatakan tidak akan ada lagi Khalifah juga berarti mengingkari hadits shahih ini.
Tuduhan 4: Kalaupun ada Khilafah di akhir zaman, itu adalah Khilafah yang ditegakkan oleh Imam al-Mahdi, yang sudah dijanjikan kedatangannya oleh Rasulullah saw di banyak hadits. Bukan Khilafah versi Hizbut Tahrir.
Abu Ya’la al-Maushili, dalam kitabnya, Musnad Abu Ya’la al-Maushili (Juz XII/19), meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Khilafah di akhir zaman nanti adalah kekhilafahan Imam Mahdi. Itupun masanya sangat singkat, yaitu tujuh tahun saja.
Bantahan:
1- Imam Mahdi memang Khalifah di akhir zaman, tapi dia bukan satu-satunya. At-Thabarani meriwayatkan hadits shahih, bahwa Imam Mahdi nanti akan dibai’at menjadi Khalifah setelah Khalifah sebelumnya wafat:
«يَكُونُ اخْتِلافٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي هَاشِمٍ فَيٌّاتِي مَكَّةَ، فَيَسْتَخْرِجُهُ النَّاسُ مِنْ بَيْتِهِ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالمَقَامِ..».
“Terjadi perselisihan saat meninggalnya seorang Khalifah, lalu keluarlah seorang lelaki keturunan Bani Hasyim hingga dia tiba di Makkah. Orang-orang pun memintanya keluar dari rumahnya, antara Rukun (Hajar Aswad) dan Maqam (Ibrahim)..”
Itu artinya, sebelum Imam Mahdi sudah ada kekhilafahan, dan sudah ada Khalifah yang dibai’at (Lihat, Majma’ Az-Zawaid, Juz VII/433). Pertanyaannya, dari mana datangnya Kkhilafah tersebut? Apakah muncul dengan sendirinya? Jelas tidak.
Karena itu, hadits-hadits tentang akan datangnya Imam Mahdi menjadi Khalifah tidak bisa menggugurkan kewajiban untuk mendirikan Khilafah, dan mengangkat seorang Khalifah. Justru sebaliknya, Imam Mahdi itu tidak akan pernah ada, jika sebelumnya tidak ada Khilafah. Hadits-hadits seperti ini memang sering dijadikan justifikasi bagi mereka yang tidak mau atau malas berjuang untuk menegakkan Khilafah.
Tuduhan 5: Kajian tentang Khilafah bukan perkara penting, sehingga tidak perlu disikapi secara Ekstrem.
Mengutip pernyataan Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, berkata dalam kitabnya, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hal. 200, “Kajian tentang khilafah tidak penting, dan lebih selamat tidak mengkajinya.”
Bantahan:
1- Terdapat ketidak jujuran kepada Imam al-Ghazali dalam tuduhan diatas. Mari kita cermati pernyataan Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali:
النظر في الإمامة أيضاً ليس من المهمات، وليس أيضاً من فن المعقولات فيها من الفقهيات، ثم إنها مثار للتعصبات والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض، بل وإن أصاب، فكيف إذا أخطأ! ولكن إذا جرى الرسم باختتام المعتقدات به أردنا أن نسلك المنهج المعتاد فإن القلوب عن المنهج المخالف للمألوف شديدة النفار، ولكنا نوجز القول فيه ونقول: النظر فيه يدور على ثلاثة أطراف:
“Berdebat tentang imamah bukanlah perkara penting, juga bukan bidang logika. Ia merupakan bidang fiqih. Masalah ini juga menjadi pemicu terjadinya fanatisme. Orang yang menolak membahasnya lebih selamat, ketimbang orang yang melibatkan diri di dalamnya. Itupun jika benar, lalu bagaimana kalau membahasnya, ternyata salah? Namun, jika dirumuskan untuk mengakhiri apa yang selama ini menjadi keyakinan, maka kami ingin menempuh metode yang lazim. Sebab, biasanya hati sangat keras penolakannya terhadap metode yang bertentangan.. Tetapi, kami ingin meringkas pendapat dalam hal ini, dimana pendapat dalam hal ini berkisar pada tiga hal:
الطرف الأول: في بيان وجوب نصب الإمام. ولا ينبغي أن تظن أن وجوب ذلك مأخوذ من العقل، فإنا بينا أن الوجوب يؤخذ من الشرع إلا أن يفسر الواجب بالفعل الذي فيه فائدة وفي تركه أدنى مضرة، وعند ذلك لا ينكر وجوب نصب الإمام لما فيه من الفوائد ودفع المضار في الدنيا، ولكنا نقيم البرهان القطعي الشرعي على وجوبه ولسنا نكتفي بما فيه من إجماع الأمة، بل ننبه على مستند الإجماع.
“Aspek pertama: Penjelasan tentang kewajiban mengangkat seorang imam (Khalifah). Tidak semestinya ada asumsi, bahwa kewajiban mengangkat imam (Khalifah) ditetapkan dengan akal. Karena itu, kami tegaskan, bahwa kewajiban tersebut ditetapkan dengan syara’. Hanya saja, kewajiban tersebut secara nyata boleh dijelaskan (reasoningnya), yang berisi manfaat, dan jika meninggalkannya akan ada mudarat. Pada saat itu, kewajiban menegakkan imam tersebut tidak boleh ditolak, karena berbagai faktor manfaat yang ada, juga berbagai faktor terhindarkannya mudarat yang ada di dunia. Namun, kami ingin membangun argumen yang qath’i dan syar’i mengenai kewajibannya (mengangkat imam), tidak hanya dengan kesepakatan umat, tetapi kami juga ingin mengingatkan pada sandaran kesepakatan tersebut.”
Al-Ghazali pun kemudian banyak mengemukakan logika, hingga sampai pada kesimpulan berikut ini:
ولهذا قيل: الدين والسلطان توأمان، ولهذا قيل: الدين أس والسلطان حارس وما لا أس له فمهدوم وما لا حارس له فضائع.
“Karena itu bisa disimpulkan, bahwa agama dan kekuasaan (Imamah atau Khilafah) adalah dua saudara kembar. Bisa juga disimpulkan, bahwa agama merupakan pondasi, sementara kekuasan (Imamah atau Khilafah) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak mempunyai pondasi, pasti akan roboh. Demikian juga sesuatu yang tidak mempunyai penjaga, juga pasti akan hilang.”
Karena itu, pernyataan al-Ghazali yang menyatakan, “Berdebat tentang imamah bukanlah perkara penting, juga bukan bidang logika. Ia merupakan bidang fiqih. Masalah ini juga menjadi pemicu terjadinya fanatisme. Orang yang menolak membahasnya lebih selamat, ketimbang orang yang melibatkan diri di dalamnya. Itupun jika benar, lalu bagaimana kalau membahasnya, ternyata salah?” tidak berarti bahwa masalah Khilafah ini tidak penting. Karena ini bertentangan dengan apa yang beliau uraikan sendiri.
Jadi, konteks pernyataan ini terkait dengan perdebatan yang terjadi di kalangan Ahli Kalam, yang tidak berujung, sehingga akhirnya mengaburkan substansi kewajibannya itu sendiri. Justru al-Ghazali menegaskan, bahwa menegakkan Khilafah ini merupakan kewajiban sangat penting, hingga sampai pada kesimpulan, bahwa “Agama dan kekuasaan (Imamah atau Khilafah) adalah dua saudara kembar.” Juga, kesimpulan, bahwa “Agama merupakan pondasi, sementara kekuasan (Imamah atau Khilafah) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak mempunyai pondasi, pasti akan roboh. Demikian juga sesuatu yang tidak mempunyai penjaga, juga pasti akan hilang.”
2- Sebaliknya, semua ulama’ Ahlussunnah menyatakan, bahwa masalah Khilafah ini merupakan kewajiban yang sangat penting (ahammu al-wajibat). Ini bisa dilacak pada kitab-kitab muktabar, karya ulama’ Sunni, berikut ini:
a- Imam Hasan al-‘Aththar (Ulama Sunni), dalam Hasyiyah Jam’u al-Jawami’, Juz II/487.
b- Muhammad bin Ahmad as-Safarini al-Hambali (Ulama Sunni), dalam kitabnya, Lawâmi’ al-Anwâr, Juz II/419.
c- Ibnu Hajar al-Haitami (Ulama Sunni), dalam kitabnya, as-Shawâ’iq al-Muhriqah, halaman 10.
d- Syamsuddin ar-Ramli (Ulama Sunni), dalam Ghâyah al-Bayân: Syarhu Zubad Ibn Ruslân, halaman 23.
e- Muhammad al-Hashkifi al-Hanafi (Ulama Sunni), dalam ad-Durr Al-Mukhtar Syarh Tanwiyr al-Abshar, halaman 75.
3- Demikian juga, jika pendapat yang menyatakan kewajiban menegakkan Khilafah atau Imamah ini dikatakan ekstrim, maka pendapat ini jelas telah menyerang para sahabat ridhwanullah ‘alaihim:
a- Handzalah bin ar-Rabi’ ra. (Sahabat sekaligus Jurutulis Rasulullah saw) menyebutkan, bahwa dengan tanpa Khilafah, umat Islam bisa hina dan sesat sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani. Lihat, at-Thabari, Taarikhu at-Thabari, hal. 776
f- ‘Umar bin Khaththab ra. memerintahkan untuk membunuh anggota syura’ dari kalangan sahabat pilihan jika menghambat proses pemilihan khalifah, dan para sahabat lainnya tidak ada yang menolak bertanda mereka setuju. Lihat, al-Kamil fi at-Tarikh, Juz II/461.
g- ‘Umar bin Khaththab ra. menyebutkan bahwa dengan meninggalkan Had Rajam saja umat bisa sesat! Tanpa Khilafah banyak hudud ditinggalkan. Lihat, Shahih al-Bukhari, hadits nomor 6829 .
h- Imam Taqyuddin Abu Bakr al-Hishniy (Ulama Sunni) menyebutkan bahwa menurut para ulama istighfar yang disertai dengan diantaranya keridhaan tidak menerapkan hudud adalah terhitung sebagai dosa! Lihat, Kifayatu al-Akhyar, hlm 242.
Tuduhan 6: Bahwa penguasa yang zalim dan sistem yang rusak adalah akibat kezaliman dan kerusakan masyarakat, sehingga merubahnya hedaknya dengan merubah masyarakat, bukan dengan meraih kekuasaan.
Tuduhan seperti ini menjustifikasi pendapatnya dengan mengutip pandangan Imam Fakhruddin al-Razi, dalam tafsirnya, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib (Juz XIII/204), bahwa tampilnya seorang pemimpin yang zalim adalah akibat kezaliman yang dilakukan oleh rakyat.
Bantahan:
1- Hizbut Tahrir merubah sistem dengan berdakwah di tengah-tengah dan bersama umat (masyarakat) sampai mereka menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya, sehingga akhirnya mereka sendirilah yang menuntut penerapan Syari’at dan Khilafah.
2- Meski demikian, kekuasan –seperti kata al-Ghazali—sangat penting untuk menerapkan syariah (agama). Tanpa kekuasaan, syariah tidak akan mungkin bisa ditegakkan.
Tuduhan 7: Menurut Ulama Sunni tidak boleh menggulingkan pemerintahan.
Pandangan seperti ini dijustifikasi dengan pendapat Imam Abu Ja’far al-Thahawi (Ulama Sunni). Dalam kitabnya, al-’Aqidah al-Thahawiyyah, beliau menyatakan, “Ahlussunnah wal Jama’ah tidak memiliki pandangan menggulingkan pemerintahan yang sah, meskipun mereka telah berbuat kezaliman.”
Bantahan:
1- Pernyataan Abu Ja’far at-Thahawi tepatnya sebagai berikut:
ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أمورنا وإن جاروا، ولا ندعو على أحد منهم ولاننزع يدا من طاعتهم، ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضة ما لم يأمروا بمعصية
“Kami tidak berpendapat tentang kebolehan memisahkan diri dari para imam kita, juga para penguasa kita, sekalipun mereka bertindak zalim. Kami tidak semestinya melaknat siapapun di antara mereka, juga tidak melepaskan tangan dari ketaatan terhadap mereka. Kami menyatakan, bahwa mentaati mereka merupakan bentuk ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, yaitu fardhu, selama mereka tidak memerintahkan maksiat.” (Lihat, Syarah al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, hal. 110-111)
Dalam Syarah al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, al-‘Allamah al-Faqih al-Muhaqqiq ‘Abdul Ghani (w 1298 H), menjelaskan, “Jika tidak demikian, maka tidak ada ketaatan kepada mereka.” Beliau juga mengutip hadits Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit, “Baginda Nabi saw berpesan kepada kami agar kami tidak merebut urusan tersebut dari yang berhak, kecuali (pesan baginda saw) jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sementara kalian mempunyai bukti yang kuat di hadapan Allah.”
Kekufuran yang nyata (bawwah) di sini, dijelaskan dalam catatan kaki, sebagai tindakan penguasa menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal (Lihat, al-‘Allamah al-Faqih al-Muhaqqiq ‘Abdul Ghani, Syarah al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, hal. 112).
Konteks penjelasan Abu Ja’far at-Thahawi di atas jelas terkait dengan sistem Khilafah yang masih menerapkan seluruh hukum Islam. Bukan dalam konteks sistem Kufur sebagaimana saat ini, dimana para penguasanya bukan hanya melakukan kezaliman terhadap rakyatnya, tetapi juga telah jelas-jelas telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, serta memaksa rakyatnya untuk tunduk dan patuh kepada sistem tersebut.
2- Selain itu, ini juga hanya merupakan salah satu pendapat. Tetapi, ini tidak bisa menafikan pendapat Ahlussunnah yang lain. Ibn Katsir (Ulama Sunni), menyatakan:
وقوله تعالى: ﴿أَفَحُكْمَ ٱلْجَـٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ﴾ ينكر تعالى على من خرج عن حكم الله المحكم المشتمل على كل خير، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من الآراء والأهواء والاصطلاحات التي وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله، كما كان أهل الجاهلية يحكمون به من الضلالات والجهالات مما يضعونها بآرائهم وأهوائهم، وكما يحكم به التتار من السياسات الملكية المأخوذة عن ملكهم جنكزخان الذي وضع لهم الياسق، وهو عبارة عن كتاب مجموع من أحكام قد اقتبسها من شرائع شتى: من اليهودية والنصرانية والملة الإسلامية وغيرها، وفيها كثير من الأحكام أخذها من مجرد نظره وهواه، فصارت في بنيه شرعاً متبعاً يقدمونها على الحكم بكتاب الله وسنة رسول الله صلى الله عليه وسلّم، فمن فعل ذلك منهم فهو كافر يجب قتاله حتى يرجع إلى حكم الله ورسوله [صلم]، فلا يحكم سواه في قليل ولا كثير..
“Siapa saja yang melakukannya (mengganti hukum Allah dengan yang lain dan tidak menerapkan syariat Islam) di antara mereka, maka dia Kafir yang wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya saw, dan tidak memerintah dengan hukum yang lain, baik sedikit maupun banyak.” (Lihat, Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim [Tafsir Ibn Katsir], Juz III/131)
Tuduhan 8: Hizbut Tahrir mengaggap bahwa perbuatan manusia tidak ada kaitannya dengan qadha’ (keputusan) Allah SWT, padahal menurut ulama Sunni semua perbuatan manusia adalah ciptaan Allah SWT.
Menurut penuduh Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dengan mengadopsi pandangan Mu’tazilah, menegaskan dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (Juz I/71 dan 72), bahwa perbuatan manusia tidak ada kaitannya dengan keputusan Allah. Sementara Imam al-Hafidz al-Kabir Abu Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi (w. 458 H), berkata dalam kitabnya, al-I’tiqad ‘ala Madzhab as-Salaf Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, hal. 53-54, bahwa semua perbuatan manusia adalah ciptaan Allah dan terjadi sesuai dengan keputusan Allah.
Bantahan:
1- Ini hal yang sama yang dituduhkan oleh al-Harari. Sebenarnya, kalau penuduh mencermati dengan teliti penjelasan al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pasti tidak berkesimpulan demikian. Karena beliau menjelaskan dua kategori perbuatan manusia: Pertama, Perbuatan yang menguasai manusia, baik yang menimpa dirinya maupun dari dirinya. Kedua, Perbuatan yang dikuasai oleh manusia.
2- Kategori yang pertama inilah yang masuk dalam wilayah Qadha’, sedangkan kategori yang kedua tidak.
Tuduhan 9: Hizbut Tahrir menyamakan Ahlussunnah dengan Jabariyyah.
Merujuk pada penjelasan al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (Juz I/73), bahwa “Ahlussunnah sama dengan Jabariyyah.”
Bantahan:
1- Yang dimaksud dengan Ahlussunnah di sini adalah mazhab Ahlussunnah di bidang akidah, yaitu Asy’ariyyah. Dalam pembahasan Qadha’ dan Qadar pada hakikatnya pendapat keduanya (Ahlussunnah dan Jabariyyah) sama. Sama-sama menyatakan, bahwa perbuatan manusia, baik taat maupun maksiat, adalah ketetapan dan ciptaan Allah SWT. Bedanya, Asy’ariyyah mengenal apa yang dinamakan dengan Kasb Ikhtiyari, yaitu manusia berkuasa memilih perbuatannya. Namun, yang terjadi tetap apa yang telah ditetapkan Allah SWT, baik dipilih maupun tidak. Karena suatu perbuatan akan terjadi manakala kuasa manusia sejalan dengan kuasa Allah SWT.
2- Yang menyatakan bahwa Asy’ariyyah memiliki kesamaan dengan Jabariyyah bukan hanya al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin. Ibn ‘Abidin, dalam kitabnya, Hasyiyah Ibn ‘Abidin (Juz VI/604), menyatakan:
والجبرية اثنتان: متوسطة تثبت للعبد كسباً في الفعل كالأَشْعرية، وخالصة لا تثبته كالجهمية
“Jabariyyah ada dua: Moderat yang menetapkan bahwa manusia mempunyai usaha dalam bertindak, seperti Asy’ariyyah. Ekstrem (Murni), yang tidak mengakui adanya usaha, seperti Jahmiyyah.”
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Imam al-Iji (Ulama Sunni) dalam kitabnya, al-Mawaqif, halaman 428, serta al-Jurjani (ulama’ Sunni), dalam kitabnya at-Ta’rifat, halaman 66.
Tuduhan 10: Hizbut Tahrir mengingkari ta’wil atas nash-nash mutasyabihat
Penuduh mengutip penjelasan al-‘Allamah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (Juz I/53), bahwa “Ta’wil pertama kali dilakukan oleh kalangan teolog, bukan ulama salaf.” Sementara Imam as-Syaukani (Ulama Syiah Zaidiyah), berkata dalam kitabnya, Irsyad al-Fuhul, mengutip penjelasan Imam az-Zarkasyi (Ulama Sunni) dalam kitabnya, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, bahwa ta’wil terhadap Nushush Mutasyabihat dilakukan oleh ulama salaf.
Bantahan:
1- Hizbut Tahrir dalam konteks ini, sebenarnya tidak sedang mengkritik ta’wil, melainkan mengkritik manhaj kaum Mutakallimin yang menjadikan akal sebagai asas dalam melakukan ta’wil, bukan ayat al-Qur’an (Lihat, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz I/55-56)
2- Bahkan, tidak ada satu pun dalam kitab Hizbut Tahrir yang membahas tentang takwil.
Tuduhan 11: Hizbut Tahrir menisbatkan kejelekan kepada Allah SWT
Penuduh mengatakan bahwa al-‘Allamah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani menyatakan dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (Juz I/43), bahwa yang dimaksud dengan “Qadar dalam hadits Jibril adalah ilmu Allah”. Dengan demikian, berarti an-Nabhani menisbatkan keburukan kepada Allah SWT. Sementara Syaikh Nawawi Banten, dalam kitabnya, Kasyifat as-Saja Syarh Safinah al-Naja, halaman 12, menyatakan, “Tidak boleh menisbatkan kejelekan kepada Allah.”
Bantahan:
1- Pandangan, bahwa an-Nabhani menisbatkan keburukan kepada Allah SWT. sebenarnya tidak pernah dinyatakan oleh al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Tetapi, ini merupakan kongklusi dari premis yang dibangun oleh penuduh sendiri.
2- Adapun maksud dari iman kepada Qadha’ dan Qadar, baik dan buruknya dari Allah SWT, “Mengimani bahwa perbuatan yang bersumber dari manusia atau menimpanya, dan bersifat “memaksa” dan khashiyyat yang ada pada benda-benda adalah dari Allah SWT, bukan dari Manusia, dan tidak ada peranan manusia di dalamnya.” (Lihat, as-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, Juz I/ 94). Jadi tidak ada satu pun penjelasan beliau yang menisbatkan kejelekan kepada Allah SWT.
Tuduhan 12: Hizbut Tahrir mengaggap bahwa para Nabi dan Rasul tidak ma’shum sebelum kenabian dan kerasulan mereka.
Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz I/132, menyatakan, bahwa “Para Nabi dan Rasul itu ma’shum setelah menjadi Nabi dan Rasul. Sedangkan sebelum menjadi Nabi dan Rasul, mereka tidak ma’shum.”
Imam Muhammad ad-Dasuqi (Ulama Sunni), dalam kitabnya, Hasyiyah ‘ala Ummi al-Barahin, halaman 163, mengatakan, “Para Nabi itu terjaga dari dosa besar dan kecil, sengaja maupun tidak sengaja, sebelum dan sesudah menjadi Nabi.”
Bantahan:
1- Imam al-Amidi (Ulama Sunni), menurut Qadhi Abu Bakar bin al-‘Arabi (Ulama Sunni) dan jumhur ulama madzhab kami (Ahlussunnah), serta banyak dari kalangan Mu’tazilah, bahwa para Nabi bisa saja melakukan maksiat sebelum menjadi Nabi, baik dosa besar maupun kecil. Bahkan bisa saja, orang yang sebelumnya Kafir menjadi Rasul. Lihat, al-Ihkam fi Ushuli al-Ahkam, Juz I/227.
2- Sedangkan ar-Razi, dalam kitabnya, Tafsir ar-Razi (Juz XVII/424), menyatakan:
إلا أن المعتبر عندنا عصمة الأنبياء عليهم السلام في وقت حصول النبوة. وأما قبلها فذلك غير واجب والله أعلم.
“Hanya saja pendapat yang diakui menurut kami, bahwa kemaksuman Nabi ‘alaihissalam terjadi pada waktu diperolehnya nubuwwah. Adapun sebelumnya, tidak ada keharusan. Wallahu a’lam.”
Jadi, pendapat al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ini bukan hal baru, dan bukan pendapat beliau seorang. Karena banyak ulama’ lain yang menyatakan pendapat seperti itu.
Tuduhan 13: Hizbut Tahrir beranggapan bahwa ijtihad itu mudah dan masih membolehkan ijtihad, padahal para ulama sepakat pintu ijtihad sudah ditutup.
Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya, at-Tafkir, halaman 149, menyatakan, bahwa “Siapa saja mampu berijtihad.” Sementara, kakeknya sendiri, Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, ulama’ Sunni, dalam kitabnya, Hujjatu-Llah ‘ala al-’Alamin, halaman 773, bahwa “Ijtihad telah terputus sejak ratusan tahun yang lalu.”
Bantahan:
1- Imam az-Zarkasyi (ulama Sunni), “Nukilan, bahwa ada kesepakatan atas sudah tertutupnya pintu ijtihad adalah hal aneh, karena perkara ini termasuk masalah khilafiyyah. Ulama Hanbali berpendapat, tidak boleh ada suatu masa yang kosong dari keberadaan seorang mujtahid. Pendapat ini ditegaskan oleh Abu Ishaq dan az-Zubairi. Ibn Daqiq, menyatakan, “Ini pendapat pilihan kami!” Lihat, Irsyad al-Fuhul, halaman 1037.
2- Yang menyatakan, bahwa ijtihad lebih mudah dilakukan di masa sekarang bukan hanya Syaikh Taqyuddin an-Nabhani. As-Syaukani berkata, ijtihad bagi kalangan Mutaakhkhirin (ulama’ belakangan) lebih gampang dan mudah daripada ijtihad bagi kalangan Mutaqaddimin (ulama’ dahulu). Lihat, Irsyad al-Fuhul, halaman 1039.
Tuduhan 14: Hizbut Tahrir membolehkan berjabat tangan dengan wanita ajnabiyyah.
Penuduh menyatakan, Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, berkata dalam kitabnya, an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, halaman 57, bahwa “Laki-laki boleh menyalami perempuan dan sebaliknya tanpa tabir antara keduanya.”
Bantahan:
1- Membolehkan bersalaman dengan wanita ajnabiyyah selama tidak khawatir menimbulkan fitnah bukanlah pendapat asing, bahkan ini merupakan pendapat mayoritas ulama di luar mazhab Syafi’i. Lihat, Wahbah Az-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islaami wa Adillatuhu, Juz III/567.
2- Hal yang sama juga dinyatakan oleh Syaikh Yusuf al-Qaradhawi.
Tuduhan 15: Hizbut Tahrir membolehkan berciuman dengan wanita.
Penuduh menyatakan, bahwa naskah asli fatwa Hizbut Tahrir halaman 226, menyatakan kebolehan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dan bukan suami-istri, asal tidak bermaksud berzina.
Bantahan:
1- Hizbut Tahrir mengeluarkan fatwa membolehkan nonton film porno adalah tuduhan keji. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy gambar porno (baik yang bergerak maupun tidak) adalah gambar terlarang, karena bertentangan dengan peradaban Islam. Lihat, Nidzam al-Islam, hlm 68.
2- Amir Hizbut Tahrir sekarang (Syaikh ‘Atha’ Abu Rusythah) saat ditanya tentang hukum melihat film porno, beliau menegaskan bahwa melihat film porno hukumnya haram, karena bisa menjadi wasilah kepada keharaman. Lihat, Ajwibah As’ilah:
http://www.hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php /HTAmeer/QAsingle/1543/ (16/02/12)
Tuduhan 16: Hizbut Tahrir membolehkan bekerja menjadi agen negara kafir
Penuduh juga menyatakan, naskah asli fatwa Hizbut Tahrir halaman 78, membolehkan bekerja menjadi agen negara Kafir.
Bantahan:
1- Menjadi agen (kaki-tangan/mata-mata) negara Kafir menurut Hizbut Tahrir adalah haram, dari sisi memberi jalan kepada kaum Kafir untuk menang, dan keharaman aktivitas memata-matai kaum Muslim.