Wednesday, November 28, 2012

Wawancara Bersama Pak Ismail Yusanto (Juru bicara Hizb Tahrir Indonesia)

SIAPA DISKRIMINATIF?

Oleh : H.M. Ismail Yusanto
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia


Demokrasi. Tampaknya kini telah menjadi kata yang penuh daya magis. Demokrasi mewarnai tiap pembicaraan tentang politik di manapun di dunia. Demokrasi dianggap sebagai system politik terbaik, setidaknya paling baik di antara yang buruk (the best among the worst).

Sedemikian rupa orang percaya pada demokrasi, seolah ia adalah pangkal dari segala kebaikan dan senjata pamungkas untuk setiap persoalan. Segala hal yang baik pastilah demokratis dan segala yang buruk pastilah tidak demokratis. Maka dari itu, semua orang merasa bahwa demokrasi harus diwujudkan secara nyata dalam semua sendi kehidupan masyarakat dan bernegara. Jadilah demokrasi menjelma bagai sebuah norma global dan buah dari semangat zaman. Menolak demokrasi sama artinya dengan menolak zaman. Benarkah begitu?

Satu topik yang paling sering ditanyakan oleh berbagai pihak, termasuk para peneliti dan pengamat, adalah sikap Hizbut Tahrir (HT) terhadap demokrasi. Mereka tahu bahwa HT menolak demokrasi, bahkan menganggap bahwa demokrasi itu sebagai sistem kufur. Bagi mereka, ini sangatlah menarik. Bagaimana tidak. Pada saat hampir seluruh negara di dunia saat ini menganut sistem demokrasi, dan semua orang, termasuk tokoh-tokoh dan
berbagai kelompok Islam, menyatakan dengan tegas bahwa demokrasi bukan hanya bisa diterima Islam, bahkan Islam adalah agama yang sepenuhnya demokratis, Hizbut Tahrir justru menyatakan demokrasi seratus delapan puluh derajat bertentangan dengan Islam.

Hal ini pula yang menarik perhatian Prof. Don Emmerson, Direktur Forum Asia Tenggara di Stanford University, Amerika Serikat, yang juga anggota Komisi Nasional Hubungan Indonesia-Amerika Serikat (the National Commission on U.S.-Indonesian Relations), dan di Amerika Serikat dianggap sebagai salah satu ahli Indonesia (Indonesianis) yang cukup terkemuka. Bersama timnya, ia melakukan penelitian mengenai hubungan antara Islam dan demokrasi, dan kesesuaian demokrasi, termasuk demokrasi liberal, dengan negara yang mayoritas Muslim seperti Indonesia. Hasil penelitian itu kemudian dikemas dalam bentuk sebuah film dokumenter. Nah, dalam rangka penelitian itulah Prof. Emmerson datang ke Indonesia, di antaranya untuk mewawancarai saya guna mengetahui pandangan HT tentang topik tadi.

Wawancara dilakukan di Hotel Shangri La, Jakarta. Tidak seperti wawancara pada umumnya yang dilakukan seadanya, wawancara dengan Prof. Emmerson ini tampak dirancang spesial. Tempatnya di sebuah paviliun bergaya Jawa yang cukup luas. Di-set-up begitu rupa, paviliun itu bagaikan sebuah studio mini dengan sekian kamera dan properti yang telah ditata secara profesional. Yang lebih istimewa, untuk wawancara ini Prof. Emmerson membawa petugas khusus: seorang Muslim, masih muda, asli Mesir, alumni al-Azhar—Mesir dan doktor pemikiran Islam dari Stanford University, yang tentu saja fasih bercakap Arab dan Inggris.

Kami duduk berhadap-hadapan. Satu kamera diletakkan di belakang kami masing¬-masing. Satu lagi yang bergerak di kiri dan kanan kami. Mungkin untuk mendapatkan gambar ekspresi wajah kami secara lebih jelas saat wawancara berlangsung. Pendek kata, kami berdua bagaikan artis film atau sinetron yang dikerubuti sekian banyak crew di bawah sorotan kamera dengan lampu yang sangat terang.

Pertanyaan yang diajukan tentu saja di seputar mengapa HT menolak demokrasi? Ketika menolak demokrasi, apakah berarti HT mendukung teokrasi? Kalau tidak, lalu sistem politik seperti apa yang dimaksud? Lalu bagaimana cara pemimpin dipilih? Kalau boleh rakyat memilih langsung, lantas di mana bedanya dengan demokrasi? Bagaimana pula nasib rakyat non-Muslim nantinya? Ada juga pertanyaan tentang terorisme, tetapi itu hanya sekilas dan tidak terlalu mendominasi keseluruhan wawancara yang berlangsung sekitar dua jam lamanya.

Alhamdulillah, wawancara berjalan lancar dan semua pertanyaan yang diajukan bisa saya jawab dengan baik meski harus dilakukan dengan pelan-pelan karena sambil berpikir untuk menemukan kata atau kalimat yang tepat dalam bahasa Inggris. Lagi pula hampir semua pertanyaan tadi masuk kategori FAQ atau frequently asked questions (pertanyaan yang berulang ditanyakan).

Saya jelaskan, bahwa HT menolak demokrasi karena inti atau substansi dari demokrasi, yakni ide kedaulatan rakyat yang perwujudannya berupa hak membuat hukum serta menentukan
benar dan salah ada pada wakil rakyat atau parlemen, itu bertentangan dengan Islam. Islam meyakini bahwa hak untuk membuat hukum, menentukan benar dan salah, menetapkan halal dan haram hanyalah pada Allah SWT. Namun, meski begitu tidak berarti HT mendukung teokrasi, karena pemimpin dalam sistem Khilafah tetaplah dipilih oleh rakyat, sedangkan dalam teokrasi pemimpin dianggap sebagai titah dari Tuhan dan can do no wrong alias maksum. Bedanya, dalam sistem Khilafah, pemimpin dipilih oleh rakyat untuk melaksanakan syariah, sedangkan dalam sistem demokrasi pemimpin dipilih untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atau melaksanakan hukum yang telah ditetapkan oleh wakil rakyat dalam parlemen, baik dalam penetapan hukum itu mengacu pada syariah ataupun tidak. Jadi, dalam demokrasi, kalaulah ada syariah, itu hanya sebagai option (pilihan), bukan sebagai obligation (kewajiban). Padahal dalam pandangan Islam, syariah semestinya menjadi kewajiban. Kalaupun sebagai pilihan, maka syariah mestinya menjadi satu-satunya pilihan (the only option).

Wawancara berlangsung hangat. Kadang diselingi sedikit debat. Tak jarang ia tertawa dan mengangguk-angguk. Latar belakang keislamannya terlihat sangat membantu dalam ia bertanya dan mendalami tiap jawaban yang saya sampaikan. Tidak salah Prof. Emmerson memilih dia sebagai interviewer.

Wawancara terus berjalan hingga tiba pada pertanyaan tentang tentang syarat khalifah, ia bertanya, "Apakah khalifah nantinya mesti seorang Muslim?" Tentu saja saya jawab, "ya, harus." Dengan cepat ia bertanya lagi, "Kalau begitu, bukankan itu diskriminatif, karena hanya seorang Muslim saja yang bisa menjadi khalifah, sementara warga negara non-Muslim tidak bisa."

Terns terang, saya merasa agak sedikit terkejut. Belum pernah ada sebelumnya yang bertanya seperti ini, apalagi dengan kesan menyudutkan. Namun, tentu saja saya tidak boleh kaget lama-lama. Dalam waktu singkat saya harus segera menemukan jawabannya.

Saya katakan kepada dia, bahwa terkait dengan siapa yang boleh menjadi kepala negara, dalam setiap sistem politik—sistem politik apapun itu dan di negara manapun—pasti ada limitasi atau pembatasan. Dalam sistem politik Amerika Serikat, misalnya, saya memberi contoh, juga ada limitasi, bahwa presiden Amerika Serikat haruslah seorang warga negara Amerika Serikat yang lahir di Amerika Serikat. Selain itu tidak boleh (Sekadar catatan, Barack Obama, presiden AS kulit hitam pertama, lahir di Honolulu, Hawaii, 4 Agustus 1961. Toh begitu. sempat mendapatkan resistensi dari sebagian warga negara AS. Ia dianggap kurang Amerika karena ayahnya berasal dari Kenya).

Jad,. limitasi dalam sebuah sistem politik adalah sesuatu yang wajar. Begitu juga dalam Islam, bahwa khalifah haruslah seorang Muslim. Bedanya, limitasi dalam sistem politik AS dan sistem politik di negara lain yang sejenis, itu berdasar pada sesuatu yang tidak bisa diubah. Maksudnya, tempat kelahiran kan tidak bisa diubah-ubah. Sekali Anda dilahirkan di Indonesia, misalnya, tidak mungkin diubah menjadi lahir di Amerika Serikat, sehingga selamanya Anda tidak mungkin menjadi presiden AS. Sebaliknya, limitasi dalam sistem politik Islam itu berdasar pada sesuatu yang bersifat pilihan, dan karena itu bisa diubah. Keislaman seseorang, sebagaimana juga ketidakislaman, adalah buah dari pilihan. Tiap pilihan pasti ada konsekuensinya. Karena Anda non-Muslim, maka Anda tidak mungkin menjadi khalifah. Namun, begitu Anda berubah menjadi Muslim, saat itu juga Anda bisa menjadi seorang khalifah. Dengan demikian limitasi yang ditetapkan oleh Islam itu lebih rasional ketimbang sistem politik manapun yang menggunakan limitasi atas dasar primordialisme. Jadi, siapa sebenarnya yang diskriminatif?

Dia diam sesaat, sebelum akhirnya dia melanjutkan wawancara dengan pertanyaan lain.


________________________________________________________________

“Sampaikanlah walaupun hanya satu ayat”
Jika ikhwan wa akhwat fiLLAH meyakini adanya kebenaran di dalam tulisan dan fans page ini, serta ingin meraih amal shaleh, maka sampaikanlah kepada saudaramu yang lain. Bagikan (share) tulisan/gambar ini kepada teman-teman facebook yang lain dan mohon bantuannya untuk mengajak teman-teman anda sebanyak mungkin di KOMUNITAS RINDU SYARIAH & KHILAFAH, agar syiar kebaikan dapat LEBIH TERSEBAR LUAS DI BUMI INI....

fans page KOMUNITAS RINDU SYARIAH & KHILAFAH
http://www.facebook.com/SyariahKhilafah

twitter KOMUNITAS RINDU SYARIAH & KHILAFAH
https://twitter.com/spirit4khilafa

Ikhwan wa akhwat fiLLAH juga bisa mentag pada gambar ini....
________________________________________________________________

Saudaraku Kaum Muslimin yang dirahmati Allah SWT, bergabunglah bersama HIZBUT TAHRIR dan bersama kita mendakwahkan Islam, berdakwah mengajak kaum muslim hidup dalam tatananan syariah Islam dalam semua sendi kehidupan, dan berjuang agar diterapkannya Syariah Islam dan Khilafah Islamiyah, Karena Allah SWT.

Jika Saudara/i ingin bergabung, bisa melayangkan pesan berupa nama asli, alamat, dan no.telp yang bisa dihubungi pada inbox fan page serta tulis juga motivasi anda ingin memperjuangkan Syariah dan Khilafah.
________________________________________________________________

Jazaakumullah Khairan wa Syukron Katsiiran 'Alaa Husni Ihtimaamikum.
Penulis bersama Pak Ismail Yusanto pada 2011 di Khilafah Conference di Kuala Lumpur

No comments:

Post a Comment